Pukul satu pagi.
Tanganku masih berusaha merangkai kata yang jauh dari kata sempurna.
Teruntuk Papa, pria pertama yang membuat aku jatuh cinta.
ENTAH aku harus bagaimana aku mulai mengungkapkannya, Pa. Tapi
sungguh jelas malam ini aku terjebak dalam sebuah renungan untuk diriku
sendiri. Saat ini, aku lapangkan dadaku untuk menyadari betapa
terlambatnya aku. Tapi Papa, aku tahu betapa Papa memiliki pengampunan
untukku. Untuk gadis kecil yang kini mungkin terasa jauh dari dekapan.
Dan... untuk gadis kecil yang sekarang sibuk tumbuh bersama dunianya.
Papa, entahlah. Semenjak aku belajar untuk dewasa justru jarak
antara kita seakan tak lagi sama. Seperti ada batas yang kini terbentuk
secara tak sengaja. Dulu saat gadismu ini masih berumur lima tahun, kita
selalu bercanda diruang tengah saat malam tiba. Papa selalu memeluk dan
bilang untuk lekas tidur karena besok sekolah. Papa, sosok yang
memanjakanku. Sosok yang berupaya memberikan apapun yang gadis kecilnya
mau. Tapi sayang, kadang gadis kecilnya masa bodoh dan tak pernah mau
tahu. Papa, kini semua sungguh tak pernah sama. Aku rindu saat kita
duduk berdua. Saat Papa dan aku punya sedikit waktu untuk saling
bercerita.
Lalu papa, ingatkah bahwa Papa adalah orang yang pertama
mengajariku mengayuh sepeda? Dahulu semua anak sebayaku telah mahir naik
sepeda. Kala sore tiba, teman-teman begitu asyik dengan sepeda mereka
masing-masing. Aku hanya duduk memandangi dan kadang berlari mengiringi
mereka. Ya, sebenarnya aku ingin seperti mereka, namun apandaya. Papa,
aku tahu Papa tak punya hati untuk melihatku seperti itu. Biasanya
setelah pulang dari kantor, Papa lantas beristirahat. Aku tahu Papa
lelah. Namun sore itu, beliau terlihat duduk santai di halaman rumah
memandangiku. Papa mengampiri bertanya apakah aku ingin naik sepeda
seperti yang lain. Aku menggeleng dan mengungkapkan bahwa aku takut.
Papa meminjam sepeda seorang anak yang kebetulan bermain dihalaman
rumahku. Aku tetap saja mengelak dan berdalih bahwa aku takut. Papa
bilang, aku tak perlu risau. Aku tidak akan jatuh karena Papa selalu ada
dibelakangku. Iya, selalu dibelakangku untuk melindungi. Mendengar itu,
akupun berani mencoba. Kaki kecilku perlahan mengayuh seped. Seakan tak
ada alasan bagiku untuk takut lagi. Papa mengawalku dengan memegang
kemudi sepeda. Papa, seandainya papa tahu betapa bahagianya putri
kecilmu saat itu. Sesederhana itu, tapi luar biasa bagiku.
Bagai tertimpa durian runtuh. Selang beberapa hari Papa memberiku
sebuah sepeda baru. Iya, sepeda yang sama denagn sepeda yabg dipakai
teman-temanku. Beliau memberi tambahan roda agar aku tidak terjatuh.
Papa tahu roda itu akan menjagaku karena papa tidak bisa mendampingiku
setiap saat. Perlahan aku mampu menaiki sepeda roda dua. Meski papa tak
berada di belakangku lagi, aku selalu merasa terlindungi olehnya. Papa,
lagi-lagi beliau memberi arti bagi hidupku. Mengajarkanku untuk
menyisihkan rasa takut dan senantiasa berusaha.
Satu hal yang tidak dapat aku lupakan dari Papa. Beliau adalah
orang yang selalu mengajarkanku hal baru. Anganku terbang memutar
belasan tahun lalu, saat aku masih duduk dibangku taman kanak-kanak.
Beliau pulang dari kantor dan membawakanku sebuah bingkisan. Aku tak
tahu apa isinya. Beliau bilang itu kejutan dan pasti aku suka. Ya,
ternyata didalamnya terdapat seperangkat alat lukis! Aku yang pada saat
itu hanya akrab dengan pastel, krayon, dan pensil warna merasa tertarik.
Dengan sabar Papa mengajariku menuang cat air ke pallet dan mengajariku
melukis. Papa selalu mengambar ayam ketika aku minta untuk mengajariku.
Gambarnya lebih mirip itik daripada ayam tapi aku sungguh merasa sangat
bahagia. Namun sayang putri kecilnya ini lekas bosan. Aku nampaknya
tidak terlalu lihai melukis. Beberapa waktu kemudian alat-alat lukis itu
tak terjamah lagi bahkan aku gunakan untuk bermain. Bukan melukis. Tapi
Papa tak sedikitpun marah.
Aku dan papa dulu sangat dekat. Amat dekat. Seperti garam dan
air di lautan. Tapi waktu membawa kita ke kutub yang berbeda. Aku
beranjak belia. Saat itu juga aku merasa ada perubahan yang berarti. Di
mataku, papa berubah menjadi sosok diktator dengan segudang aturan yang
mewajibkanku untuk menyanggupinya. Kadang aku benci Papa. Papa dengan
segenap aturan kunonya tak tak bisa aku mengerti. Ini dan itu semua
serba ada aturannya.
"Anak perempuan tak boleh keluar malam, jam 9 sudah harus dirumah dan
kemanapun harus pamit dengan orang rumah. Pergi kemana dan dengan
siapanya harus jelas. Kalau pergi malam-malam harus Papa yang antar." -
Pasal pertama di Rumahku.
Tapi realitanya justru lebih ketat daripada itu. Izin untuk pergi
pada siang haripun kadang tak aku kantongi. Bahkan ketika aku dapat izin
ponselku selalu berdering dengan isi pesan Papa yang selalu sama (lagi
dimana- ayo segera pulang- Sudah ditunggu Papa). Aku selalu membawa
perasaan was-was saat aku pergi keluar dengan teman-teman. Aku selalu
merasa terburu. Bahkan untuk sekedar memohon izin pada Papapun aku harus
menyusun kata yang indah agar diterima dan mengumpulkan keberanian
terlebih dahulu. Bayangkan, bagaimana aku tidak jengah? Aku iri dengan
teman-temanku yang selalu melenggang bebas untuk menonton pertandingan
basket atau teater sekolah. Papa seolah tak mau mengerti!
"Boleh ikut kegiatan apapun di sekolah. Asalkan izin pada Papa. Dan
hal yang paling penting tidak ada kata 'pacar' saat SMA." - Pasal kedua
yang harus aku jalani.
Ya, setidaknya aku gadis yang beruntung. Papa sosok yang
senantiasa memberi dukungan untuk kegiatanku di sekolah. Papa memberikan
putrinya kebebasan untuk memilih berbagai kegiatan di sekolah. Namun
yang sedikit membuatku kesal adalah Papa sama sekali tak mengizinkanku
untuk memiliki romansa di masa putih abu-abu. Aku sendiri tak menampik
bahwa aku telah memiliki rasa kertarikan pada lawan jenis. Lalu harus
bagaimanakah aku? Pernah suatu kali aku dan seorang teman laki-laki yang
aku suka datang ke rumah. Papa, dengan muka masam menyapa dia dengan
acuh. Papa tak biasanya begitu. Aku hanya kesal. Kesal dan tak tahu
harus berbuat apa. Aku ingin mengutarakan semuanya tapi hingga hari itu
aku belum berani untuk bicara. Lidahku terasa kelu.
"Ponsel dimatikan menjelang pukul 10 malam. Papa selalu memintaku
untuk tidak tidur larut malam. " - Pasal ketiga yang remeh-temeh namun
jika dilanggar dapat membuat Papa naik pitam.
Papa tak begitu suka aku sibuk dengan gadgetku. Menyebalkan sekali
bukan? Dahulu aku selalu berfikir betapa kunonya Papa. Jengkel. Papa
seolah tak mengerti aku. Itu, lihat Pa. Teman-teman yang lainpun juga
sibuk dengan gadget mereka. Rasanya kesal dihatiku sudah menggunung.
Dadaku terasa sesak.
HARI BERLALU - Papa seolah menjadi garda depan di masa remajaku. Segala
aturan yang dibuatnya selalu membuatku tak habis pikir. Pasal-pasal yang
dibuatnya seakan mutlak untuk dijalankan. Bagaimanapun sederet aturan
yang Papa buat sulit aku terima seutuhnya. Rasanya aku sudah jengah.
Namun, aku takut dan benar-benar takut saat Papa marah padaku. Saat Papa
marah tak satu katapun ia lontarkan untukku. apa diam. Tak menyapaku
atau menegurku. Jika sudah begitu, akupun hanya bisa diam. Tanpa tahu
apa yang harus aku lakukan.
Ini bukan pengakuan yang picisan. Tapi adakalanya aku menyadari
bahwa peraturan yang Papa terapkan semata-mata untuk melindungiku. Papa,
betapa engkau telah melakukan tanggungjawabmu sebagai seorang ayah
dengan sangat baik. Betapa Papa telah berusaha dengan keras untuk
melindungiku dan mengusahakan semua yang terbaik untukku. Papa, Tuhan
begitu baik karena Tuhan telah menghadirkan Papa untukku.
Waktu membawaku hingga detik ini. Detik dimana aku jauh dari
papa. Di tanah rantau, aku hidup dengan aturanku dan bukan lagi dengan
aturan Papa. Tapi yang aku rasakan justru berbeda. Aturan Papa seakan
mendarah daging padaku. Pa, jika aku boleh mengatakan suatu aku hanya
ingin mengungkapkan "Pa, Aku Rindu Papa." Aku rindu tidur di pelukan
Papa. Aku rindu becerita apapun dengan papa. Rindu ditegur Papa. Rindu
diperhatikan papa. Rindu menghabiskan waktu bersama Papa. Aku rindu Papa
dan semua yang kita lalui seperti saat aku masih kecil.
Jadi, Papa apakah aku terlalu sibuk untuk tumbuh dewasa? Apakah
aku yang tak pernah memiliki waktu lagi untuk kita berdua? Atau memang
beginikah rasanya rindu seorang gadis kecil pada sosok Papanya? Apakah
Papa tidak meyayangiku lagi?Tentu tidak.
Hal yang membuat aku bertanya adalah kenapa kita tak lagi sama.
Kita yang tak berkonflik apa-apa namun tetap terasa berbeda. Waktu
membuat kita tak lagi sehangat dulu. Kita tak lagi dekat sedekat dulu.
Yang tersisa hanyalah kerinduan sebagai seorang gadis kecil. Ah,
mungkinkah aku yang belum bisa memahami semua ini?
"Papa dan seorang anak perempuannya. Semakin anak gadisnya tumbuh
dewasa maka pola hubungan mereka terasa semakin senjang. Seorang Papa
akan membiarkan Gadisnya untuk berjalan sendiri. Tak lagi membantunya
berjalan seperti saat gadisnya masih kecil. Seorang Papa akan membiarkan
gadisnya mengejar mimpi. Tak lagi menyanyikan lagu selamat tidur dan
mengantarkan gadisnya bermimpi."
Papa, sampai kapanpun aku akan tetap jadi gadis kecil Papa. Iya,
sampai suatu saat nanti Papa mempercayakan aku pada seorang pria untuk
mendampingku. Dan sungguh akupun tak tahu apakah ada lelaki sehebat Papa
yang bisa melindungiku hingga sampai saat ini. Pun jika nanti akan ada
seorang lelaki yang meminang dan melindungiku, percayalah aku hanya
tetap akan jadi putri kecil Papa. Dengan itu aku merasa nyaman. Dengan
itu aku menjadi diriku. Dengan itu aku merasa lengkap.
Adakah kata yang lebih layak diucapkan selain kata maaf dan
terima kasih? Papa, maaf gadis kecilmu terlalu cepat tumbuh. Papa terima
kasih untuk semua yang tak bisa aku takar harganya. Biarkan aku yang
akan membayar semuanya dengan tetap memberi kita waktu untuk saling
bercerita dan tertawa bersama seperti dulu. Papa, engkau menjadi sosok
yang banyak diam saat aku mulai dewasa. Tapi diam itu mengisyaratkan
bahwa Papa tahu bahwa aku mampu menentukan mana yang terbaik untuk
diriku sendiri. Meski Papa tak lagi seperti dulu, aku selalu percaya
bahwa Papa ada dibelakangku. Papa, akankah ini bagian dari cara
mendewasakanku?
Papa, inilah caraku mengucap rindu. Papa akan tetap menjadi pria
terbaik dalam hidupku. Papa akan menjadi satu alasan mengapa aku harus
tumbuh menjadi wanita yang dewasa. Papa, dengarlah. Aku menyayangimu.
Sangat menyayangimu