Senin, 21 Juli 2014

RINDU




Malam yang sepi penuh kerinduan
Ku petikkan gitar seorang diri
Ku alunkan sejalan dengan perasaanku
Dan aku bernyanyi untuk sebuah lagu


Petika setiap petikan kuresapi
Alunan setiap alunan ku hayati
Seakan akan dentingan itulah
 Jeritan hati

Kasihku
Setiap malam sebelum daku terlena
Dimalam mimpi…      
Ku bissikan namamu lewat sang bayu
Ku harap…………… kau bisa merasakan
Bahwa sekeping hati menantimu

Sebatang rindu yang rebah di hatiku
 Adalah rindumu…
  Seulas senyum yang singgah di matamu
 Adalah senyumku……

Kau adalah mentari sakti
Bukit bukit dan telaga biru
Yang mesti ditundukkan
Belataranmu yang dijajah
Ternyata masih menyimpan misteri
bukit bukit kan kudaki
                       
 gunung gunung kan ku jejaki
  inginku mencari ……………..
  cinta yang telah lari…..
ditengah jalan yang berliku
dan gelombang penderitaanku
cinta….
Kau selalu datang dan menghantuiku

Senin, 14 Juli 2014

JANJI

” Jadi selama ini kamu hanya mengajarkan aku cara memperjuangkan, merasakan, menjaga dan memiliki. Tolong jangan pergi, kamu bahkan belum mengajarkan cara untuk melupakan. “


Seberapa mampu aku mengendalikan perasaanku, sekuat itulah aku akan bertahan. Kamu tidak perlu memintaku untuk menunggu. Karena disini hatiku punya banyak ruang untuk bersabar. Kamu juga tak perlu memohonku untuk tinggal. Karena disini kisahku dan kisahmu telah rapi terpatri dalam kisah kita. Namun satu inginku. Jangan pernah sekalipun memintaku untuk pergi. Aku tak sedikitpun mau dan tak akan pernah mampu. Entah harus berapa kali aku mengatakannya. Entah bagaimana aku harus mengungkapkannya. Dan entah bagaimana membuatmu menyadarinya. Berulang kali aku mencoba mengutarakannya kepadamu, tapi keadaannya tetap sama. Seperti ada dinding tebal diantara kita hingga tanganku tak lagi dapat kamu genggam. Disini, bersama beberapa kata yang berhasil aku rangkai, aku hanya ingin kamu tahu. Mungkin ini hanya catatan cengeng bagimu. Tapi sungguh ini luar biasa bermakna untukku. Dan jika kamu baca ini, ketahuilah aku disini bahagia untukmu. Jangan anggap catatan kecilku ini tulisan tanpa arti.


 Aku hanya tak tahu bagaimana cara meluapkan emosi tanpa melukaimu. Sungguh aku menyerah untuk berbicara dengan cara “yang biasa” kepadamu. Meski aku tahu kata yang terlontar dariku seolah hanya angin lalu bagimu. Aku hanya punya cara tersendiri untuk melantunkan setiap emosi yang aku rasakan. Ya, dengan ini. Dengan tulisan. Tulisan memang tak pernah letih untuk mengeja apapun yang aku rasa. Aku mencintai tulisanku seperti aku mencintamu. Karena kalian selalu memberiku kenyamanan dan mengajariku mendobrak batas angan. Mengenalmu, itu hal yang membuka mataku untuk melihat semua yang membahagiakan dan semua yang memberi luka. Sekalipun aku tak akan pernah menyesal untuk bertemu denganmu. Bahkan jika ada kesempatan untuk mengulang semuanya. Aku akan mengulangnya berkali-kali. Agar aku bisa berlama-lama memandangimu dan terhanyut dalam sorot matamu. Andai kamu tahu. Aku sangat suka melihat kedua matamu. Jangan tanya mengapa, karena sesungguhnya akupun tak tahu. Seperti ada dua magnet yang hendak menarikku kedalamnya. Perbolehkan aku untuk menitipkan harapan dipelupuk matamu agar kamu dapat melihat masa depan kita. Kita memang tidak pernah bicara banyak tentang masa depan, tapi masa depan telah menyiapkan banyak cerita untuk kita.


Seandainya saat ini kamu mengerti. Kamu memang bukan satu-satunya sosok yang pernah singgah dihati. Tapi entah kenapa aku suka caramu. Aku juga tak ingin memperbandingkanmu dengan yang lain. Karena beginilah caraku untuk menghargai semua orang yang pernah memberi warna setiap relung hatiku. Aku sepenuhnya memahami, memperbadingkan sosok-sosok itu berarti sama saja menghakimi pilihanku sendiri. Kamu salah satu yang terpilih. Dan lagi, aku suka caramu. Caramu mengungkapkan cinta yang tak biasa. Caramu yang mengajarkan untuk memahami. Kamu adalah laki-laki yang tak pernah membuatku menangis. Bukan berarti aku tak pernah merasa sakit ketika bersamamu. Tapi kamulah yang benar-benar mengajarkanku untuk membasuh setiap rasa sakit dengan kasih sayang. Ini bukan sebuah sanjungan untukmu, tapi ini tentang apa yang kamu bingkiskan untukku.

 Dan sekarang kamu pergi. Maaf, aku tak bisa menuliskan apa yang aku rasakan dengan gamblang agar kamu mengerti. Bahkan menurutku akan lebih baik jika aku tidak menuliskannya. Inilah bagian dari caraku untuk menghargaimu. Aku tak ingin mengungkapkannya sedikitpun, agar aku tak membebanimu. Tapi aku tahu, suatu hari kamu akan memahami bagaimana perasaanku. Karena bagaimanapun kamu pernah jadi bagianku. Dulu kita pernah jadi satu. Memang tak seharus diingat, tapi terasa lebih indah jika kamu mau mengingat. Tentang perahu kertas dan kegugupanmu saat bicara padaku. Tentang masa depan, rasa dan mimpi.


Dan apakah kamu ingat tentang langit senja dan janji jari kelingking? Waktu itu kita berjanji untuk bertemu. Hatiku berfirasat kau akan mengatakan sesuatu. Hingga semalaman aku tak kunjung terlelap hanya untuk memikirkan jawaban yang tepat untukmu. Kemudian hari itupun tiba. Kamu seperti bukan kamu. Begitu juga dengan aku. Aku tak ingin membuatmu menunggu. Setelah lama kita berdua, akhirnya kamu mengungkapkannya. Tepat seperti yang aku duga. Firasatku ada benarnya. Suasana begitu dingin dan kita berdua sama-sama gugup. Kata yang kamu ucapkan itu seperti matra bagiku. Matra yang mengunci hatiku untuk laki-laki lain dan membiarkanmu untuk jadi pemilik tunggal. Sekejap keraguanku hilang dan aku kehilangan kata yang aku fikirkan semalam suntuk. Aku hanya mengucapkan apa yang hatiku ingin katakan dan itu tulus. Mulai detik itu kita berikrar saling memiliki. Kamu kaitan kelingkingmu di jari kelingkingku. Begitu manis caramu. Aku hanya bisa memandangmu begitu dalam. Sedalam aku memaknai hubungan kita saat itu. Aku dan kamu sepakat. Aku dan kamu se-iya se-kata. Aku dan kamu sepasang kekasih. Sayang, akhirnya kita menutup hari itu dengan sedikit duka. Kita hanya duduk berdua dengan perasaan yang tak lagi sama. Kata demi kata kita ucapkan penuh makna. Degup jantungku dan jantungmu berdetak tak biasa. Desir asmara yang tadinya ada berubah menjadi desus kebimbangan yang tak berujung. Kita berdua sama-sama harus pergi. Menjauh dan menuntut ilmu di kota yang berbeda. Saat itu aku ingin lebih lama duduk di sampingmu. Mulutku sulit untuk mengucapkan kata selamat tinggal. Kita sama-sama kehabisan kata untuk mengungapkan perpisahan secara biasa. Aku ingin sekali mendekapmu. Ingin sekali.



Kita bagai dua burung dara yang baru saja dipertemukan kemudian terpaksa dipisahkan. Kita berpisah. Dulu kamu bilang untuk sementara, tapi melihat keadaan saat ini bisa jadi untuk selamanya. Jika dengan terus mengenggammu adalah cara membuatmu terluka, maka aku akan belajar melepaskan secara perlahan agar kamu bahagia. Maaf aku menyerah. Maaf aku pernah mencintaimu. Dan, maaf aku masih saja menyebut namamu dalam doaku.

Karna Aku Tetap Gadis Kecil Papa.

Pukul satu pagi.
Tanganku masih berusaha merangkai kata yang jauh dari kata sempurna.
Teruntuk Papa, pria pertama yang membuat aku jatuh cinta.
     ENTAH aku harus bagaimana aku mulai mengungkapkannya, Pa. Tapi sungguh jelas malam ini aku terjebak dalam sebuah renungan untuk diriku sendiri. Saat ini, aku lapangkan dadaku untuk menyadari betapa terlambatnya aku. Tapi Papa, aku tahu  betapa Papa memiliki pengampunan untukku. Untuk gadis kecil yang kini mungkin terasa jauh dari dekapan. Dan... untuk gadis kecil yang sekarang sibuk tumbuh bersama dunianya.
     Papa, entahlah. Semenjak aku belajar untuk dewasa justru jarak antara kita seakan tak lagi sama. Seperti ada batas yang kini terbentuk secara tak sengaja. Dulu saat gadismu ini masih berumur lima tahun, kita selalu bercanda diruang tengah saat malam tiba. Papa selalu memeluk dan bilang untuk lekas tidur karena besok sekolah. Papa, sosok yang memanjakanku. Sosok yang berupaya memberikan apapun yang gadis kecilnya mau. Tapi sayang, kadang gadis kecilnya masa bodoh dan tak pernah mau tahu. Papa, kini semua sungguh tak pernah sama. Aku rindu saat kita duduk berdua. Saat Papa dan aku punya sedikit waktu untuk saling bercerita.
      Lalu papa, ingatkah bahwa Papa adalah orang yang pertama mengajariku mengayuh sepeda? Dahulu semua anak sebayaku telah mahir naik sepeda. Kala sore tiba, teman-teman begitu asyik dengan sepeda mereka masing-masing. Aku hanya duduk memandangi dan kadang berlari mengiringi mereka. Ya, sebenarnya aku ingin seperti mereka, namun apandaya. Papa, aku tahu Papa tak punya hati untuk melihatku seperti itu. Biasanya setelah pulang dari kantor, Papa lantas beristirahat. Aku tahu Papa lelah. Namun sore itu, beliau terlihat duduk santai di halaman rumah memandangiku. Papa mengampiri bertanya apakah aku ingin naik sepeda seperti yang lain. Aku menggeleng dan mengungkapkan bahwa aku takut. Papa meminjam sepeda seorang anak yang kebetulan bermain dihalaman rumahku. Aku tetap saja mengelak dan berdalih bahwa aku takut. Papa bilang, aku tak perlu risau. Aku tidak akan jatuh karena Papa selalu ada dibelakangku. Iya, selalu dibelakangku untuk melindungi. Mendengar itu, akupun berani mencoba. Kaki kecilku perlahan mengayuh seped. Seakan tak ada alasan bagiku untuk takut lagi. Papa mengawalku dengan memegang kemudi sepeda. Papa, seandainya papa tahu betapa bahagianya putri kecilmu saat itu. Sesederhana itu, tapi luar biasa bagiku.
    Bagai tertimpa durian runtuh. Selang beberapa hari Papa memberiku sebuah sepeda baru. Iya, sepeda yang sama denagn sepeda yabg dipakai teman-temanku. Beliau memberi tambahan roda agar aku tidak terjatuh. Papa tahu roda itu akan menjagaku karena papa tidak bisa mendampingiku setiap saat. Perlahan aku mampu menaiki sepeda roda dua. Meski papa tak berada di belakangku lagi, aku selalu merasa terlindungi olehnya. Papa, lagi-lagi beliau memberi arti bagi hidupku. Mengajarkanku untuk menyisihkan rasa takut dan senantiasa berusaha.
       Satu hal yang tidak dapat aku lupakan dari Papa. Beliau adalah orang yang selalu mengajarkanku hal baru. Anganku terbang memutar belasan tahun lalu, saat aku masih duduk dibangku taman kanak-kanak. Beliau pulang dari kantor dan membawakanku sebuah bingkisan. Aku tak tahu apa isinya. Beliau bilang itu kejutan dan pasti aku suka. Ya, ternyata didalamnya terdapat seperangkat alat lukis! Aku yang pada saat itu hanya akrab dengan pastel, krayon, dan pensil warna merasa tertarik. Dengan sabar Papa mengajariku menuang cat air ke pallet dan mengajariku melukis. Papa selalu mengambar ayam ketika aku minta untuk mengajariku. Gambarnya lebih mirip itik daripada ayam tapi aku sungguh merasa sangat bahagia. Namun sayang putri kecilnya ini lekas bosan. Aku nampaknya tidak terlalu lihai melukis. Beberapa waktu kemudian alat-alat lukis itu tak terjamah lagi bahkan aku gunakan untuk bermain. Bukan melukis. Tapi Papa tak sedikitpun marah.
         Aku dan papa dulu sangat dekat. Amat dekat. Seperti garam dan  air di lautan. Tapi waktu membawa kita ke kutub yang berbeda. Aku beranjak belia. Saat itu juga aku merasa ada perubahan yang berarti. Di mataku, papa berubah menjadi sosok diktator dengan segudang aturan yang mewajibkanku untuk menyanggupinya. Kadang aku benci Papa. Papa dengan segenap aturan kunonya tak tak bisa aku mengerti. Ini dan itu semua serba ada aturannya.

"Anak perempuan tak boleh keluar malam, jam 9 sudah harus dirumah dan kemanapun harus pamit dengan orang rumah. Pergi kemana dan dengan siapanya harus jelas. Kalau pergi malam-malam harus Papa yang antar." - Pasal pertama di Rumahku.

     Tapi realitanya justru lebih ketat daripada itu. Izin untuk pergi pada siang haripun kadang tak aku kantongi. Bahkan ketika aku dapat izin ponselku selalu berdering dengan isi pesan Papa yang selalu sama (lagi dimana- ayo segera pulang- Sudah ditunggu Papa). Aku selalu membawa perasaan was-was saat aku pergi keluar dengan teman-teman. Aku selalu merasa terburu. Bahkan untuk sekedar memohon izin pada Papapun aku harus menyusun kata yang indah agar diterima dan mengumpulkan keberanian terlebih dahulu. Bayangkan, bagaimana aku tidak jengah? Aku iri dengan teman-temanku yang selalu melenggang bebas untuk menonton pertandingan basket atau teater sekolah. Papa seolah tak mau mengerti!

"Boleh ikut kegiatan apapun di sekolah. Asalkan izin pada Papa. Dan hal yang paling penting tidak ada kata 'pacar' saat SMA." - Pasal kedua yang harus aku jalani.

      Ya, setidaknya aku gadis yang beruntung. Papa sosok yang senantiasa memberi dukungan untuk kegiatanku di sekolah. Papa memberikan putrinya kebebasan untuk memilih berbagai kegiatan di sekolah. Namun yang sedikit membuatku kesal adalah Papa sama sekali tak mengizinkanku untuk memiliki romansa di masa putih abu-abu. Aku sendiri tak menampik bahwa aku telah memiliki rasa kertarikan pada lawan jenis. Lalu harus bagaimanakah aku? Pernah suatu kali aku dan seorang teman laki-laki yang aku suka datang ke rumah. Papa, dengan muka masam menyapa dia dengan acuh. Papa tak biasanya begitu. Aku hanya kesal. Kesal dan tak tahu harus berbuat apa. Aku ingin mengutarakan semuanya tapi hingga hari itu aku belum berani untuk bicara. Lidahku terasa kelu.

"Ponsel dimatikan menjelang pukul 10 malam. Papa selalu memintaku untuk tidak tidur larut malam. " -  Pasal ketiga yang remeh-temeh namun jika dilanggar dapat membuat Papa naik pitam.

    Papa tak begitu suka aku sibuk dengan gadgetku. Menyebalkan sekali bukan? Dahulu aku selalu berfikir betapa kunonya Papa. Jengkel. Papa seolah tak mengerti aku. Itu, lihat Pa. Teman-teman yang lainpun juga sibuk dengan gadget mereka. Rasanya kesal dihatiku sudah menggunung. Dadaku terasa sesak.


HARI BERLALU - Papa seolah menjadi garda depan di masa remajaku. Segala aturan yang dibuatnya selalu membuatku tak habis pikir. Pasal-pasal yang dibuatnya seakan mutlak untuk dijalankan. Bagaimanapun sederet aturan yang Papa buat sulit aku terima seutuhnya. Rasanya aku sudah jengah. Namun, aku takut dan benar-benar takut saat Papa marah padaku. Saat Papa marah tak satu katapun ia lontarkan untukku. apa diam. Tak menyapaku atau menegurku. Jika sudah begitu, akupun hanya bisa diam. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan.

     Ini bukan pengakuan yang picisan. Tapi adakalanya aku menyadari bahwa peraturan yang Papa terapkan semata-mata untuk melindungiku. Papa, betapa engkau telah melakukan tanggungjawabmu sebagai seorang ayah dengan sangat baik. Betapa Papa telah berusaha dengan keras untuk melindungiku dan mengusahakan semua yang terbaik untukku. Papa, Tuhan begitu baik karena Tuhan telah menghadirkan Papa untukku.

        Waktu membawaku hingga detik ini. Detik dimana aku jauh dari papa. Di tanah rantau, aku hidup dengan aturanku dan bukan lagi dengan aturan Papa. Tapi yang aku rasakan justru berbeda. Aturan Papa seakan mendarah daging padaku. Pa, jika aku boleh mengatakan suatu aku hanya ingin mengungkapkan "Pa, Aku Rindu Papa." Aku rindu tidur di pelukan Papa. Aku  rindu becerita apapun dengan papa. Rindu ditegur Papa. Rindu diperhatikan papa. Rindu menghabiskan waktu bersama Papa. Aku rindu Papa dan semua yang kita lalui seperti saat aku masih kecil.

      Jadi, Papa apakah aku terlalu sibuk untuk tumbuh dewasa? Apakah aku yang tak pernah memiliki waktu lagi untuk kita berdua? Atau memang beginikah rasanya rindu seorang gadis kecil pada sosok Papanya? Apakah Papa tidak meyayangiku lagi?Tentu tidak.

       Hal yang membuat aku bertanya adalah kenapa kita tak lagi sama. Kita yang tak berkonflik apa-apa namun tetap terasa berbeda. Waktu membuat kita tak lagi sehangat dulu. Kita tak lagi dekat sedekat dulu. Yang tersisa hanyalah kerinduan sebagai seorang gadis kecil. Ah, mungkinkah aku yang belum bisa memahami semua ini?

"Papa dan seorang anak perempuannya. Semakin anak gadisnya tumbuh dewasa maka pola hubungan mereka terasa semakin senjang. Seorang Papa akan membiarkan Gadisnya untuk berjalan sendiri. Tak lagi membantunya berjalan seperti saat gadisnya masih kecil. Seorang Papa akan membiarkan gadisnya mengejar mimpi. Tak lagi menyanyikan lagu selamat tidur dan mengantarkan gadisnya bermimpi."

        Papa, sampai kapanpun aku akan tetap jadi gadis kecil Papa. Iya, sampai suatu saat nanti Papa mempercayakan aku pada seorang pria untuk mendampingku. Dan sungguh akupun tak tahu apakah ada lelaki sehebat Papa yang bisa melindungiku hingga sampai saat ini. Pun jika nanti akan ada seorang lelaki yang  meminang dan melindungiku, percayalah aku hanya tetap akan jadi putri kecil Papa. Dengan itu aku merasa nyaman. Dengan itu aku menjadi diriku. Dengan itu aku merasa lengkap.


       Adakah kata yang lebih layak diucapkan selain kata maaf dan terima kasih? Papa, maaf gadis kecilmu terlalu cepat tumbuh. Papa terima kasih untuk semua yang tak bisa aku takar harganya. Biarkan aku yang akan membayar semuanya dengan tetap memberi kita waktu untuk saling bercerita dan tertawa bersama seperti dulu. Papa, engkau menjadi sosok yang banyak diam saat  aku mulai dewasa. Tapi diam itu mengisyaratkan bahwa Papa tahu bahwa aku mampu menentukan mana yang terbaik untuk diriku sendiri. Meski Papa tak lagi seperti dulu, aku selalu percaya bahwa Papa ada dibelakangku. Papa, akankah ini bagian dari cara mendewasakanku?

      Papa, inilah caraku mengucap rindu. Papa akan tetap menjadi pria terbaik dalam hidupku. Papa akan menjadi satu alasan mengapa aku harus tumbuh menjadi wanita yang dewasa. Papa, dengarlah. Aku menyayangimu. Sangat menyayangimu

Kamis, 02 Januari 2014

PELANGIKU

" Merah, Jingga, Kuning, Hijau, Biru, Nila dan Ungu "



Seketika ku harap tercipta pelangi tanpa warna
Seketika pula aku tersudut dalam dimensiku sendiri
Ah, aku ini manusia tanpa seberkas asa yang mampu aku gantungkan
Aku, pita pudar yang mengikat rapuhnya angan
Sungguh aku maya yang hilang dalam nyataku
Dan ini hanya aku yang tersesat dalam klise klise jaman
Aku dan diriku bagai baja nan rapuh yang berusaha menguatkan kisahku


Merah...
Merah bersembunyi dalam kemarahan rasa muak
Dan disini, peluh nan perih senantiasa menertawaiku
Tapak tangisku mengetuk kalbu dan berbisik ini sebuah dialektika
Bukannya aku tak ingin lepas melayang bebas
Hanya saja aku bukan sutradara yang bisa hentikan film di hari-hariku
Biarkan jarum jam mengiringi detik deritaku
Cukup aku , laraku dan hanya diriku


Jingga...
 Terdiam dengan kesendirian
Sekalipun aku tak akan peduli pada balada tentangku
Aku tak peduli pada "mereka" yang merasa diatas angin
Aku tak peduli tentang "dia" dan "dia" yang bercula dikepalanya
Aku tak peduli kenapa surya bertandang dari ufuk timur
Tapi jika ada cara mengubah takdir aku akan peduli
Takdirku yang diambang garis penyesalan


Kuning...
Kuning selalu menyilaukan
Silau, buatku enggan menatap semua yang nyata adanya

Sungguh aku tak tau akan hadirnya ilusi
Tapi....
Apa mataku pernah melihat uluran tangan ?
Apa tanganku pernah mengenggam hangatnya rasa?
Aku ingin , aku mau , aku  (mungkin) mampu berpijak disini
Dalam gelapnya siangku, dalam hitamnya pelangiku

Hijau....
Aku tertimbun dalam teduhnya rasa sakit dan penghianatan

Biru...
Aku tesejukkan oleh senyumanmu, yang manis tapi seperti kuldi
Aku terlempar jauh ke dunia, iya ini "dunia"

Nila...
Membangkitkan aroma kehidupan
Kehidupan dengan nada yang selalu fana
Hidup dalam ritme yang tak terkendali
Dan,  hidup dalam vokalisasi yang samar-samar

Ungu...
Aku sendiri,
Mencari oase dalam jiwa yang terbelenggu